Tempo.co |
Yogyakarta - Ada fakta baru tentang kebohongan Dwi Hartanto. Menurut Rektor Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta, Amir Hamzah, alumni lembaga pendidikan yang dipimpinnya itu pernah memalsukan surat untuk pendaftaran program master di Universitas Gadjah Mada.
"Dulu, tahun 2007, Dwi Hartanto memalsukan tandatangan agar dapat beasiswa masuk S2 UGM," ujar Amir di kampus Akprind, Selasa 10 Oktober 2017.
Usai lulus sebagai lulusan terbaik Akprind tahun 2005 dengan IPK 3,88, Dwi Hartanto diketahui berminat mendaftar program master di Fakultas Teknik UGM. Untuk mendapat beasiswa tersebut, prosedurnya mewajibkan pemohon harus mengajukan diri melalui lembaga Kopertis wilayah. Syarat agar bisa mengajukan diri ke kopertis wilayah, membutuhkan surat rekomendasi dari kampus asal melalui bagian administrasi.
"Surat untuk ke kopertis ini yang dipalsukan Dwi agar bisa dapat beasiswa ke S2 UGM," ujar Amir. Untunglah pemalsuan dokumen oleh Dwi itu berhasil diketahui kampus setelah Kopertis mengklarifikasi ke pihak kampus.
Beruntung saat itu, Dwi dianggap masih anak bawang oleh kampus. Sehingga, penyelesaian pemalsuan dokumen itu tak berbuntut panjang baginya. "Kami saat itu masih anggap dia anak-anak, apalagi saat tu dia lulusan terbaik, jadi penyelesaiannya masih kekeluargaan," ujarnya.
Dwi, setelah kasus pemalsudan dokumen itu, lantas lenyap bak di telan bumi. Ia tak diterima di UGM dan tak diketahui rimbanya oleh pihak kampus juga alumni karena Dwi tak masuk menjadi anggota ikatan alumni Akprind. "Tiba-tiba saja namanya mencuat tahun 2015 sampai mendapat julukan 'penerus Habibie'," ujar Amir yang juga bekas dosen Dwi.
Kampus sempat bangga ternyata Dwi berhasil menapaki jenjang program doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft Belanda. "Meski kami kecewa ketika namanya disebut sebagai penerus Habibie, tapi dia tak mengakui Akprind sebagai almamaternya. Kami tak diakui pernah mendidiknya," ujarnya.
Dwi kini disorot karena terbongkar kebohongannya setelah mengaku sebagai calon profesor bidang aeronautika. Dwi sempat menyatakan pernah diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam hingga dijuluki 'the next Habibie'.
Ketua Ikatan Alumni Akprind Bambang Kusmartono terkejut dengan kasus pembohongan publik yang dilakukan Dwi Hartanto. "Dari informasi yang kami terima sejak kuliah dia memang tergolong individual, susah kerjasama, dan sampai tak mau kontak lagi dengan para alumni setelah lulus," ujarnya. Atas kasus Dwi Hartanto ini, Bambang akan membahas langkah selanjutnya dengan para alumni Akprind.
Dwi yang selama dikampus Akprind Yogya teregister dengan nomor mahasiswa 01052087 itu menjadi lulusan terbaik 2005 setelah menyabet Indek Prestasi Kumulatif 3,88. Dari salinan nilai akademik Dwi selama kuliah dari 2001-2005 yang diperoleh Tempo, dari total 64 mata kuliah yang diselesaikan Dwi hanya pernah mendapatkan 11 buah nilai B dan sebagian besar ia mendapatkan nilai A.
Pria kelahiran, Madiun, 13 Maret 1982, yang masuk Akrpind tahun 2011 diwisuda tepat waktu, yakni tanggal 26 November 2005. Skripsinya berjudul "Membangun Robot Cerdas Pemadam Api Berbasis Algoritma Kecerdasan ANN (Artificial Neural Network)".
Nama Dwi Hartanto naik daun dalam dua tahun terakhir setelah diberitakan berbagai media elektronik maupun televisi setelah mengaku diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam. Sosok Dwi Hartanto ditulis secara manis oleh berbagai media nasional sebagai doktor muda (28 tahun) calon profesor bidang roket dalam tiga tahun terakhir.
Adalah Deden Rukmana, profesor dan pakar urban studies di Savannah State University, Amerika Serikat, yang pertama kali mengungkap kebohongan Dwi Hartanto kepada publik dalam status Facebook miliknya. Menurut Deden, puncak kemarahan rekan-rekan ilmuwan Indonesia di Belanda timbul saat tersebar pesan di grup WhatsApp Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Deden termasuk anggota grup tersebut. Beberapa orang, menurut Deden, mengambil inisiatif membentuk tim untuk membongkar kebohongan Dwi.
"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 yang membahas tentang yang bersangkutan. Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam akun Facebook-nya.
Dalam statusnya, Deden menyebutkan dokumen pertama terdiri 33 halamam berisi beragam foto-foto aktivitas Dwi Hartanto termasuk dari halaman Facebook-nya dan link berbagai website tentangnya. Salah satunya termasuk transkrip wawancara di program Mata Najwa pada Oktober 2016, serta surat-menyurat elektronik dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim Dwi Hartanto.
Dokumen kedua, tulis Deden, sebanyak delapan halaman berisikan ringkasan investigasi terhadap klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto termasuk latar belakang S1 (Strata-1), umur, roket militer, PhD in Aerospace, Professorship in Aerospace, Technical Director di bidang rocket technology and aerospace engineering, interview dengan media international, dan kompetisi riset.
Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi bermaterai 6.000 tersebut tertanggal 7 Oktober 2017.
Dalam dokumen klarifikasinya, Dwi menyatakan bukan lulusan Tokyo Institute of Technology di Jepang. Melainkan lulusan strata-1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005. Setelah dari AKPRIND, Dwi mengambil program master di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis "Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission".
Saat ini, Dwi masih menjalani program doktoral di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems di fakultas yang sama di Delft di bawah bimbingan Prof. M.A. Neerincx dengan judul disertasi "Computer-based Social Anxiety' Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy". "Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar," tulis dia.
Di surat klarifikasi itu, Dwi berjanji tak akan mengulangi kesalahannya tersebut dan tetap berkarya di bidang kompetensinya yang sebenarnya, yakni sistem komputasi. Dia berjanji akan menolak pemberitaan maupun undangan berbicara di luar kompetensinya. "Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya, seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum," tulis Dwi.
Sumber: Tempo.co
0 Response to "Ternyata Dwi Hartanto Pernah Palsukan Surat Saat Daftar S2 di UGM..."
Posting Komentar